Selasa, 10 November 2015

Bagian I.1 (part-3)

Ananda berkata: Aku selalu mendengar Buddha mengajar: Ketika akal budi tidak bisa diam, maka terciptalah segala hal dan muncul segala macam pemikiran. Sekarang aku berpikir bahwa substansi dari pemikiran-pemikiranku itu (yang dinamakan akal budi) adalah natur dari akal budi yang muncul ketika natur itu bersatu/bergabung dengan yang di luar (hal-hal apa yang ditangkap panca indera) di mana pemikiran-pemikiran itu bukan di dalam, juga bukan di luar, bukan pula berada di antaranya.

*Mungkin maksud Ananda, akal budi sebenarnya tidak ada, tidak bersubstansi, dia muncul hanya sebagai reaksi alami dari ditangkapnya fenomena. CMIIW.

Sang Buddha berkata: Kau baru saja berkata bahwa karena fenomena-fenomena diciptakan, segala macam bentuk pikiran muncul ketika bertemu dengannya.Jadi akal budi itu sendiri tidak memiliki substansi dan karenanya tidak mungkin bisa menyatu dengan apapun. Karena jika apa yang tidak bersubstansi bisa menyatu dengan apa yang ada di luar, maka persatuan ini adalah bentuk alam indera ke-19, bagian dari indera ke-tujuh.

(*The Buddha said: ‘You have just said that because phenomena are created, all kinds of mind appear when uniting with them. So this mind has no substance and cannot unite with anything. If that which has no substance can unite with externals, this is union of the nineteenth realm of sense with the seventh sense datum.) Mungkin ada yang lebih memahami dan menerjemahkan bagian ini dgn lebih baik.

Hal ini sepenuhnya adalah omong kosong. Jika akal budi memiliki substansi, ketika tangan memegang tubuh, apakah akal merasakan sentuhan ini datang dari dalam atau dari luar? Jika dari dalam, maka seharusnya kamu bisa melihat apa yang ada di dalam tubuh dan kalau dikatakan dirasakan datang dari luar, maka seharusnya kamu bisa melihat wajahmu sendiri.

Ananda menjawab: Matalah yang melihat dan akal yang mengetahui bukanlah mata, jadi tidak bisa dikatakan akal itu melihat.

Sang Buddha berkata: Jika matalah yang melihat, maka ketika kamu berada di dalam ruangan, apakah kamu melihat pintu (yang ada di luar)? Mereka yang sudah mati dan masih memiliki mata, jika matalah yang melihatm maka harusnya mereka masih bisa melihat. Jika mereka masih bisa melihat, bagaimana bisa dikatakan mereka sudah mati?

Ananda, jika akal budi memiliki substansi, apakah substansinya itu tunggal atau jamak? Jika dia di dalam tubuh, apakah dia menyebar di seluruh bagian tubuh atau tidak? Jika dia tunggal, ketika kau memegang salah satu tangan atau kakimu, ke empat-empatnya akan merasa dipegang pula. Dengan demikian tidak bisa dikatakan, dia itu satu/tunggal substansi. Jika dia jamak, maka artinya akan ada banyak kepribadian/orang dan yang manakah yang bisa dikatakan sebagai dirimu jika dia menyebar ke seluruh tubuh? Jika dia tunggal, tidak menyebar di mana-mana, ketika kau memegang kepalamu dan kakimu bersamaan, maka entah kepalamu atau kakimu akan merasa dipegang sementara yang lain tidak.

Karena itu Ananda, pemikiranmu bahwa akal budi muncul (hanya ada) ketika ada persatuan dengan ransangan dari luar tidaklah berdasar.

Ananda menjawab: Yang Mulia, aku mendengar Sang Buddha berdiskusi tentang Realita dengan para Boddhisatwa, dia berkata bahwa akal itu tidak di dalam, juga tidak di luar. Aku sekarang menyimpulkan bahwa jika akal itu ada di dalam, dia tidak melihat/tahu apa pun yang ada di dalam; dan jika dia di luar, keduanya tidak saling merasakan keberadaan yang lain. Jadi mengatakan akal/pikiran itu ada di dalam tubuh adalah salah, di luar juga salah. Karenanya aku menyimpulkan bahwa pikiran itu tidak di dalam, tidak di luar, melainkan ada di antara dalam dan luar (di tengah-tengah?).


Sang Buddha menjawab : Jika kita menuruti pemikiran itu, artinya pikiran memiliki posisi tertentu. Sekarang menurut pemikiranmu itu, di manakah posisi "antara" ini? Apakah maksudnya di dalam atau di permukaan tubuh? Di tengah-tengah tubuh? Bukankah artinya sama saja dengan mengatakan bahwa posisinya ada di dalam tubuh (sudah terbukti salah sebelumnya)? Lebih-lebih lagi, apakah posisi ini ada secara nyata atau tidak? Jika tidak artinya tidak ada. Jika ada artinya tempatnya tidaklah tetap. Kenapa? Sebagai contoh kalau satu pasak ditanamkan di tanah untuk menandai posisi tengah-tengah, maka dilihat dari timur dia ada di barat, dilihat dari selatan dia ada di utara. Seperti mematok posisi dengan pasak ini hanya membawa pada kebingungan, maka pemikiranmu tentang posisi di antara/tengah-tengah, dari akal ini pun membawa kekacauan.


Ananda menjawab: Posisi di antara yang aku maksudkan bukanlah seperti itu. Seperti Yang mulia jelaskan, bahwa mata dan bentuk adalah penyebab timbulnya persepsi penglihatan. Sementara mata membuat kita bisa membedakan, bentuk tidaklah mengikuti/dipengaruhi apa-apa selain dirinya sendiri, dan persepsi muncul di antara keduanya, dari situ akal muncul.

Sang Buddha menjawab: Jika akal muncul di antara panca indera dan obyek data, apakah pikiran itu mencakup keduanya atau tidak? Jika dia mencakup keduanya, maka substansi dari akal itu dan substansi dari obyek di luar (diri) akan bercampur dan karena akal memiliki persepsi sementara obyek di luar tidak, kedua ujung yang berlawanan akan menjadi satu, jadi di mana bisa dikatakan ada posisi di antara/tengah-tengah? Kalau tidak inklusif, dia bukan yang mengetahui (panca indera), bukan pula obyeknya, artinya akal ini tidaklah bersubstansi, jadi sekali lagi apa maksudnya dengan posisi di antara ini? Karena itu, pemikiranmu ini lagi-lagi tidaklah berdasar.

Ananda berkata: Yang mulia, sebelumnya saat aku melihat Sang Buddha dan 4 murid utama, memutar Roda Hukum, dia berkata bahwa natur dari mengetahui dan pikiran yang membeda-bedakan, adalah tidak di dalam, tidak di luar, tidak juga di antaranya, dia tidak berada di mana-mana dan tidak melekat pada apa pun, sehingga disebutlah dia sebagai akal budi. Apakah yang tidak melekat pada apa pun ini yang disebut akal/pikiran?

Sang Buddha menjawab: Baru saja kamu mengatakan bahwa natur dari pengetahun dan pikiran yang membeda-bedakan tidak berada di mana-mana. Sekarang di dunia ini, semua hal yang ada di udara, di air dan di darat, baik yang terbang maupun yang berjalan, membuat lengkap semua eksistensi dari apa yang ada.

Tentang sesuatu yang tidak melekat pada apa pun, apakah kamu maksudkan, dia itu memiliki eksistensi atau tidak? Jika dia tidak eksis, baik itu rambut di kura-kura atau tanduk seekor kelinci (sesuatu yang tidak ada, hanya dibuat-buat, sebagai contoh tentang sesuatu yang tidak memiliki eksistensi? CMIIW), bagaimana bisa dikatakan tidak melekat? Jika dikatakan tidak memiliki eksistensi, apa yang tidak ada tentunya tidak memiliki eksistensi dan apa yang memiliki eksistensi tentu seharusnya memiliki posisi, jadi bagaimana bisa ada sesuatu yang tidak melekat? Karena itu pendapatmu tentang sesuatu yang tidak melekat pada apa-apa adalah tidak berdasar.



Lanjut ke Bagian I.2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar