Kamis, 12 November 2015

Bagian I.3.4

Membuktikan kesalahan dari persepsi yang sesat untuk meniadakan aggregat ke-empat dan menunjukkan kehampaan dari bentuk kesadaran ke-tujuh.


Menghapus bersih yang tidak nyata (Wiping Out the Unreal).


Kehampaan dari persepsi yang membeda-bedakan (The Non-existence of Discriminative Perception).


Cara pandang Ananda yang salah (Ananda’s wrong view).

 

Ananda yang tersentuh dan menangis oleh belas kasih dan pengajaran yang mendalam dari Sang Buddha, menangkupkan kedua telapak tangan dan berkata :Setelah mendengar Dharma Sang Buddha yang mengagumkan, sekarang aku menyadari bahwa Pikiran Terang yang mengagumkan itu pada dasarnya sempurna, sehingga aku selalu tinggal diam di dalam alam-Pikiran.

Tetapi pencerahanku ini terjadi disebabkan/ditimbulkan dari pengajaran Sang Buddha. Pencerahan yang didapatkan setelah melalui penggunaan "pikiran"-ku (bukan yang Pikiran Sejati, baru sampai pada taraf memahami secara intelektual) yang mendengarkan dengan sungguh-sungguh, yang kemudian baru setelah itu ada pemahaman akan yang benar itu.

Aku tidak berani mengatakan bahwa inilah sungguh-sungguh alam Pikiran (Sejati) yang mendasar itu. Apakah Sang Buddha kiranya berkenan untuk mencerahkan aku, supaya hilang semua keraguanku ini dan aku pun bisa kembali pada Jalan Yang Utama (Supreme Tao).

Tidak nyatanya berbagai ilusi yang timbul dari berbagai sebab (Unreality of illusory causes)


Sang Buddha berkata : Kamu masih menggunakan pikiranmu yang kotor (belum bebas, masih melekat) untuk mendengarkan Dharma; sementara Dharma yang kamu dengarkan ini pun juga masih sesuatu yang tidak independen (ada sebab ada akibat, bukan lahir dari dirinya sendiri, dst). Sehingga karena (dua sebab) itu maka kamu pun gagal untuk sampai pada hakekat Dharma yg sebenarnya.

Hal ini seperti seseorang mengacungkan jari untuk menunjukkan bulan ada orang-orang lain. Di mana orang-orang itu harus mengikuti arah dari jari yang menunjuk itu untuk kemudian bisa melihat bulan.

Jika mereka melihat jari yang teracung dan mengira bahwa itulah bulan, maka mereka pun kehilangan baik bulan maupun jarinya.

Kenapa? Karena yang ditunjuk itu adalah bulan yang terang, dan mereka gagal melihat/menyadari arah/tujuan dari jari itu dan gagal pula membedakan antara terang dan gelap.

Kenapa? Karena mereka salah mengerti, menganggap jari itu adalah bulan yang terang dan tidak memiliki pengertian yang jelas tentang terang dan gelap.

Demikian pula, apabila kamu salah mengerti, menganggap (pikiranmu) yang timbul dari pendengaran akan pengajaranku (pemahaman intelektual) sebagai pikiran sejatimu (pencerahan/kesadaran). Karena yang sejati itu hakekatnya tidak tergantung pada pendengaran (pengetahuan yang sejati lepas/bebas dari proses menganalisa/mendeduksi).

Sebagai contoh, ketika seorang musafir menginap di satu penginapan, dia hanya tinggal di sana untuk beberapa waktu dan kemudian pergi, dia tidak tinggal menetap di sana untuk selamanya. Sementara si pemilik penginapan, dia tidak pergi ke tempat lain, karena dialah pemilik penginapan itu. Hal ini sama dengan pikiranmu.

Semunya baik panca indera maupun kesadaran. Jika hal itu adalah Pikiran/Kesadaran Sejati-mu, maka dia tidak memiliki tempat lain untuk pergi. Jadi mengapa pada ketidak hadiran pengajaran, kesadaran itu tidak memiliki hakekat keberadaannya sendiri?

Pikiran yang membeda-bedakan bukan hanya timbul saat aku berbicara, tetapi juga saat kamu mengamat-amati penampilanku, dia tidak memiliki hakekat pengamatan/berpikir itu sendiri ketika tidak ada bentuk/obyek. Bahkan ketika kamu mencapai tahap di mana semua pembeda-bedaan itu berhenti, kondisi di mana tidak ada bentuk, juga bukan kehampaan, yang oleh para bidah disebut Kegelapan Asal. Semua fenomena bisa dianalisa apa yang menjadi penyebabnya.

Jika hal tersebut yang tidak memiliki kesadarannya sendiri berhenti mengada pada keadaan hilangnya kondisi yang memicu dia. Bagaimana bisa dia disebut si pemilik (diri sejati, mengacu pada analogi si pemilik penginapan) jika dia berhenti mengada pada saat dia dikembalikan pada penyebab timbulnya dia?

*Segala sesuatu memiliki sebab dan akan menghilang jika penyebabnya dihilangkan. Dengan demikian hal itu tidak memiliki keberadaan yang sejati.

Meminjam Esensi/Hakekat dari Persepsi untuk Memilah-milah Penyebab External (Borrowing The Essence Of Perception To Pick Out Causal Externals)


Ananda bertanya : Jika setiap kondisi pikiran bisa dikembalikan pada kondisi asalnya (penyebabnya), mengapa Sang Buddha berbicara tentang kesadaran mula-mula yang terang dan menakjubkan, yang tidak bisa dikembalikan ke mana pun (tidak berawal, tidak dicipta, mengada tanpa ada penyebabnya)? Apakah Sang Buddha berkenan menjelaskan?

Mempersiapkan Esensi dari Persepsi (Setting up the essence of perception)


Sang Buddha berkata : Sebagaimana kamu melihat diriku sekarang ini, esensi dari penglihatanmu pada awalnya adalah jernih. Meskipun dia bukanlah Pikiran Yang Tercerahkan, dia itu bisa dikatakan seperti bulan yang kedua, tetapi bukan pantulan bulan (di air).

Sekarang dengarkan baik-baik penjelasanku, tentang hal yang tidak bisa ditemukan apa penyebabnya.

Memilah-milah penyebab external (Picking out causal externals)


Buddha berkata : Ananda, pintu dan jendela balai ini terbuka lebar dan menghadap ke arah timur. Saat matahari terbit ada cahaya masuk ke da;am dan saat tengah malam dia menjadi gelap saat bulan sedang tertutup awan. Penglihatanmu tidak terhalang, melalui pintu dan jendela yang terbuka, tetapi terhalang saat ada pintu-pintu atau rumah. Ketika tidak ada lagi pembeda-bedaan, kamu bisa melihat apa yang menjadi penyebab dan dalam kehampaan yang samar, kamu hanya melihat kekosongan.

Keadaan tidak sadar, muncul akibat obyek-obyek external yang kacau, sementara keadaan sadar memimpin pada penglihatan yang jernih.

Ananda sekarang lihatlah bagaimana aku mengembalikan tiap-tiap kondisi perubahan ini pada asal penyebabnya. Apakah masing-masing penyebab-penyebab ini?

Ananda, cahaya bisa dikembalikan pada matahari. Kenapa? Karena tidak ada cahaya apabila tidak ada matahari dan karena cahaya berasal dari matahari, cahaya bisa dikembalikan pada matahari sebagai asalnya. Kegelapan bisa dikembalikan pada bulan yang menghilang; kejernihan penglihatan dikembalikan pada pintu dan jendela yang terbuka, penghalang dikembalikan pada tembok dan rumah.

Sebab-akibat dikembalikan pada pembeda-bedaan, kekosongan pada kehampaan relatif, kebingungan external pada ketidak sadaran dan penglihatan yang jernih pada kondisi sadar. Tidak ada apa pun di dalam dunia ini yang melampaui kondisi-kondisi tersebut. Sekarang ketika Esensi dari Persepsi-mu dihadapkan pada delapan kondisi ini, ke mana dia bisa dikembalikan?

Jika dikembalikan pada terang, maka kamu tidak bisa melihat kegelapan saat tidak ada cahaya. Meskipun kondisi-kondisi terang, gelap, dll., itu berbeda satu dengan yang lain, penglihatanmu tetap tidak berubah.

The nature of perception
‘All states that can be returned to external causes are obviously
not YOU, but that which cannot be returned to anywhere,
if it is not YOU, what is it? Therefore, you should
know that your Mind is fundamentally wonderful, bright and
pure and that because of your delusion and stupidity, you
have missed it and so are caught on the wheel of transmigration,
sinking and floating in the samsaric sea. This is why the
Tathàgata says that you are the most pitiable of men.’29
The (Underlying) Nature of Perception
is Not the Essence of Perception
ânanda asked: ‘I now understand that the nature of Perception
cannot be returned to any external cause but how can I
know that it is my True Nature?30
The capacity of perception
The Buddha said: ‘ânanda, though you have not yet reached
the state beyond the stream of transmigration, you may now
use the Buddha’s transcendent power to behold the first
dhyàna heaven31 without obstruction, like Aniruddha32 who
sees this world (Jambudvãpa) as clearly as fruit33 held in his
own hand. Bodhisattvas can see hundreds and thousands of
worlds. Buddhas in the ten directions can see all the Pure
Lands as countless as the dust. As to living beings, their range
of sight is (sometimes) limited to inches.
Picking out causal objects
‘ânanda, as you and I see the palaces inhabited by the four
heavenly kings with all that is there in water, on the ground
and in the air, though there is a great variety of forms and
shapes in the light and darkness, they are but hindrances resulting
from your differentiation of objective phenomena.
Here you should distinguish between your own Self and external
objects. From, what you see, I now pick out that which
is your own Self and those which are but phenomena.
ânanda, if you exhaust the field of your vision, from the sun
and moon to the seven mountain ranges34 with all kinds of
light, all that you see are phenomena which are not YOU. As
you (shorten your range) you see passing clouds and flying
birds, the wind rising and dust, trees, mountains, rivers, grass,
men and animals; they are all external and are not YOU.
The essence of perception
‘ânanda, the great variety of things, far and near, when beheld
by the essence of your seeing, appeared different
whereas the nature of your seeing is uniform. This wondrous
bright essence is really the nature of your perception.35
The Essence of Perception Mistaken for Externals
Refuting this misconception
‘If seeing is an object, you should also see my seeing. If you
can do so why when I do not see things, do you not see my
non-seeing? (Even) if you do so it will not be real but your
false seeing. If you do not see my non-seeing, it follows that
your seeing and mine are not objects. If so, why cannot your
seeing be YOU? Again if when you see an object you grasp
at it as such, it should also see you; if so, that object and the
nature of seeing will mingle and you, I and the world will be
in complete confusion.
True perception
‘ânanda, when you see (things), this seeing is yours and not
mine, and its nature penetrates everywhere; if it is not YOU,
what is it? Why do you still doubt about your real nature and
ask me to confirm that it is not false?’36
Wiping Out the Capacity of Perception
to Reveal the True Mind
The capacity of seeing
ânanda asked: ‘World Honoured One, if I am the nature of
seeing, why when the Buddha and I saw the palaces of the
four heavenly kings and the sun and moon, did this seeing
first penetrate the whole world and then return to this vihàra,
then to its temple and now to this hall with its eaves and corridors?
Does this seeing which first pervaded the universe
now return to and fill only this hall; does its previous scale not
shrink, or is cut up by the walls of this hall? I do not know
thereby missing their fundamental Minds. Thus they are being
turned round by objects and perceive large and small
sizes. If they can turn objects round, they will be like the
Tathàgata, and their bodies and minds will be in the state of
radiant perfection; from their immutable holy site,38 the end
of each of their hairs will contain all lands in the ten
directions.’39
Removing the essence of perception to wipe out
the fifth aggregate and eighth consciousness
Eradicating Attachment to the Ego
to Reveal the One Reality
ânanda asked: ‘If this essence of seeing is my wondrous
nature, the latter should manifest before me. If seeing is my
real ego, then what are my body and mind? But in fact my
body and mind can discern (things) whereas that seeing cannot
discern my body. If perception is my mind and causes
me to see (things), then this perception is my Ego whereas
my body is not; this is exactly what the Buddha previously refuted
(with the argument that) objects should then see me.
Will you be compassionate enough to enlighten me?’40
Rooting Out ânanda’s Misconception of Objects
Being and NOT BEING Perception
Misconception of objects BEING perception
The Buddha replied: ‘ânanda, your conception of perception
being in front of you is incorrect because if it is, the essence of
perception should have a position which can be shown. As
you sit in Jetavana park, you see its trees and nullahs as well
as this hall, with the sun or moon overhead and the Ganges in
the distance. As you are now, in front of my lion-seat, moving
your hand to point to the surroundings, such as the dark foliage
of the wood, the bright sun, blocking walls and clear open
spaces as well as grass, plants and very small things, although
they are of different sizes, each of them can be pointed out. If
they are really your seeing manifesting in front of you, you
should be able to show which one is your seeing.
‘ânanda, you should know that if voidness is your seeing,
since it has already become your perception, then how
can it be empty? If an (external) thing is your seeing and has
already become your perception, how can it be external? So,
after dissecting all things in front of you, pick out the bright
and pure principle of your perception and show it (to me) to
prove that it is clearly and irrefutably identical with externals.’
ânanda said: ‘From this hall, I now see the Ganges in
the distance, the sun or moon overhead and all that I can
point out with my finger and see with my eyes; they are all
(external) things but not one of them is my perception. World
Honoured One, as the Buddha has said, not only a beginner
in the ÷ràvaka stage, like myself, who is still in the stream of
transmigration, but even a Bodhisattva, cannot dissect things
and pick out the essence of seeing which has an independent
nature apart from phenomena.’
The Buddha said: ‘Correct, correct.’
Misconception of objects NOT BEING perception
The Buddha said: ‘As you have said, there is no essence of
seeing with an independent nature apart from phenomena.
Now if there is no perception in the things you point out, I
now ask again: As you and the Tathàgata sit in this Jetavana
park, when you see the wood and all externals including the
sun or moon, if there is no essence of Seeing which can be
picked out from them, tell me which one is not the seeing?’
ânanda replied: ‘Of all things seen in this Jetavana
park, I do not know which one is not the seeing. Why?
Because if the trees are not the seeing, why do I see them? If
they are the seeing, why are they trees? If the void is not the
seeing, why do I see it? If the void is the seeing, why is it
empty? I too have thought carefully about all this and now
conclude that each one of them is the seeing.’
The Buddha said: ‘Correct, correct.’
In the assembly, all those who had not achieved the
stage beyond study, were very surprised at hearing the
Buddha say this. They failed to understand His meaning and
were perturbed and thrown off balance. The Buddha realized
their perplexity and alarm and took compassion on
them, saying: Virtuous men, the words of the King of the
Supreme Law are true, accord with Reality and are neither
deceitful nor false, unlike those of the heretics whose sermons
are arbitrary and aimless.41 Now listen attentively;
your faith in me shall not be in vain.
Ma¤ju÷rã’s Helpful Interposition
Thereupon, Ma¤ju÷rã Bodhisattva, who took compassion on
the four varga, rose from his seat, prostrated himself at the
Buddha’s feet, brought his two palms together and said:
‘World Honoured One, these people do not understand the
Tathàgata’s twofold revelation of the reality and unreality of
the essence of perception in form and voidness. They think
that if causal form and voidness are the seeing, there should
be an indication of it, and if they are not, there should be no
seeing. They do not understand your teaching and are, therefore,
surprised and bewildered, but they are not like those
whose roots are frivolous and inferior.43 May the Tathàgata be
compassionate enough to enlighten them (so, that they know)
what objects and this essence of perception are fundamentally
and that there exists neither “isŸ nor “is notŸ between them.’
The Buddha declared to Ma¤ju÷rã and the assembly: ‘To
all Tathàgatas and great Bodhisattvas of the ten directions, abiding
in the state of Samàdhi, seeing and its (concurrent) causes,
as well as all forms imaginable, are like flowers in the sky which
fundamentally do not exist. This seeing and its causes are essentially
the profound, pure and bright substance of Enlightenment;
44 how can there be “isŸ and “is notŸ within it? Ma¤ju÷rã, I
now ask you this; you are already the real Ma¤ju÷rã; can there
be another Ma¤ju÷rã who first “isŸ and then “is notŸ?’45
Ma¤ju÷rã replied: ‘No, World Honoured One, I am the

Bagian I.3.3 part-2


Pandangan salah dari para bidah tentang kemusnahan/nihilism (The heretics’ inverted view of annihilation).

Setelah Ananda dan seluruh yang hadir mendengar kata-kata Sang Buddha, hati dan pikiran mereka menjadi tenang dan terkontrol. Mereka berpikir bahwa, sejak dari sebelum permulaan, mereka kehilangan penglihatan akan hakekat kesadaran/akal/pikiran mereka sendiri dengan melekatkan diri (menciptakan ego/aku/atta) pada bayang-bayang yag timbul dari pemikiran mereka yang memilah-milah kondisi sebab-akibat dan baru sekarang mereka tersadar, seperti bayi baru lahir yang sudah lama tidak menyusu, sekarang melihat ibunya.

Mereka menyatukan kedua telapak tangan dan berterima kasih pada Sang Buddha, serta ingin mendengarkan pengajarannya lebih lanjut lagi mengenai dualisme dari kondisi/keadaan nyata dan tidak nyata, ada dan tidak ada, sementara dan kekal, dari tubuh dan pikiran/kesadaran.

Kemudian Raja Prasenajit bangkit dari duduknya dan berkata pada Sang Buddha : Sebelum aku menerima pengajaran dari Sang Buddha, aku bertemu Katyayana dan Vairataputra yang keduanya berkata bahwa ketika tubuh mati, kehancurannya inilah yang dinamakan Nirwana. Sekarang meskipun setelah bertemu dengan Sang Buddha, hal ini belum jelas bagiku.

Demikian juga semua yang hadir di sini, yang masih terseret arus perpindahan, kami ingin memahami bagaimana bisa sampai pada kesadaran itu dan membuktikan apa yang ada ini, keberadaannya melampaui siklus lahir dan mati.

Sang Buddha berkata pada Raja Prasenajit : Raja yang besar, sekarang aku bertanya padamu tentang tubuhmu yang terdiri dari daging dan darah. Apakah dia itu kekal/permanen dan tidak bisa hancur seperti intan berlian, ataukan tubuhmu itu berubah-ubah dan menuju pada kehancuran?

Sang Raja menjawab: Tubuhku ini perlahan-lahan membusuk dan akhirnya akan hancur.


Sang Buddha bertanya : Raja yang besar, kamu belum lagi mati, dari mana kamu bisa tahu bahwa satu saat nanti tubuhmu akan musnah?

Sang raja menjawab: Yang mulia, meskipun tubuh yang tidak permanen, terus menerus berubah dan sedang dalam proses membusuk ini belumlah mati, namun aku bisa mengamati bahwa dia terus menerus berubah, mengurai tanpa henti dan suatu saat nanti tentulah akan musnah. Seperti nyala api yang terbakar, makin lama makin pudar dan akhirnya mati tak menyisakan apa-apa.


Sang Buddha bertanya : Ya, Raja yang besar, sekarang kamu tua, bagaimana kalau dibandingkan dengan dulu sewaktu masih kanak-kanak?

Sang raja menjawab: Yang mulia, dulu waktu masih kanak-kanak, kulitku berkilau dan sementara aku tumbuh semakin besar, aku penuh dengan tenaga, tetapi sekarang aku tua dan melemah, semakin hari semakin tipis dan semangatku pun semakin tumpul, rambutku memutih dan kulitku mengeriput dan karenanya akupun tahu bahwa hidupku tidak akan lama lagi. Sungguh tidak bisa dibandingkan, aku yang sekarang ini dengan aku yang dulu, yang penuh kehidupan.

Sang Buddha berkata : Raja yang besar, (meski demikian) penampilanmu (saat ini) bukankah tidak berubah menurun (pada saat berbicara ini bukankah tidak terlihat berubah-ubah?).

Sang raja menjawab: Yang mulia, penampilanku berubah sedikit demi sedikit sepanjang waktu sehingga sulit diamati dalam waktu yang singkat. Dengan bergantinya musim demi musim, barulah aku berubah seperti aku yang sekarang ini.

Kenapa? Waktu masih berumur 20an, meskipun masih terhitung muda, namun sudah terlihat lebih tua dibandingkan diriku sewaktu berumur 10 tahun, pada waktu berumur 30an semakin tua lagi. Dan sekarang aku sudah berumur 62, lebih tua dari sewaktu berumur 50 ketika aku masih lebih kuat. Yang mulia, aku baru bisa melihat perubahan ini dalam hitungan puluhan tahun, tetapi bila diperhatikan lebih teliti lagi, maka jelaslah bahwa perubahan itu terjadi bukan dalam hitungan tahun, bulan atau hari, melainkan setiap lewatnya saat demi saat. Itu sebabnya aku tahu bahwa tubuh ini sudah pasti pada akhirnya akan sampai juga pada kemusnahannya.

Sang Buddha berkata: Ya Raja besar, kamu mengamati perubahan yang terjadi tanpa henti ini dan tahu pada satu saat kamu akan mati, tetapi tahukah kamu bahwa ketika hal itu terjadi, ada yang bukan tubuhmu dan tidak ikut mati?

Sang raja menangkupkan kedua tangannya dan berkata: Aku sungguh tidak tahu.


Sang Buddha berkata kembali : Sekarang aku akan menunjukkan padamu, hakekat dari yang melampaui siklus lahir dan mati. Raja, umur berapa pertama kali raja melihat Sungai Gangga?

Sang raja menjawab: Ketika aku berumur tiga, ibu membawaku ke sana untuk memuja Dewa Jawa. Ketika kami menyeberangi sungai barulah aku tahu itu Sungai Gangga.

Sang Buddha bertanya : Ya raja, seperti yang kamu katakan, kamu lebih tua saat umur 20 dibandingkan saat umur 10, dan sekarang sampai kau berumur 60, seiring berjalannya hari, bulan dan tahun, tubuhmu berubah dari saat ke saat. Ketika kau melihat Sungai Gangga pada umur 3, adakah air Sungai Gangga sama dengan ketika engkau berumur 13?

Sang raja menjawab : Sama, baik ketika aku berumur tiga, umur tiga belas dan sekarang pun setelah aku berumur enam puluh dua, hal itu tetaplah sama.

Sang Buddha berkata : Sekarang saat kau menyadari rambutmu yang memutih dan wajahmu yang mulai berkeriput, tentunya jauh berbeda dengan keadaanmu waktu masih kanak-kanak. Hari ini ketika melihat Sungai Gangga, adakah kau melihat bahwa *penglihatan-mu, sekarang menua dibandingkan dulu sewaktu masih kanak-kanak?

*Jangan disalah mengerti bahwa penglihatan di sini mengacu pada mata, atau pada proses melihat, tetapi lebih pada hakekat dari melihat itu sendiri. Seperti pada sebelumnya, bagaimana orang buta pun, memiliki aspek melihat.

Sang raja menjawab: Hal itu tetaplah sama yang mulia.

Sang Buddha berkata : Ya raja, meskipun wajahmu menua, hakekat dari penglihatanmu tidak. Jadi, apa yang yang menua itu berubah (tidak permanen), sementara yang bebas dari penuaan itu adalah tidak berubah (permanen). Yang tidak permanen akan musnah, sementara yang permanen karena hakekatnya adalah melampaui siklus lahir dan mati, bagaimana bisa dia kemudian mengikuti lahir dan matimu?

Kenapa kamu membawa-bawa ajaran Maskari tentang kemusnahan total pada saat kematian?

Setelah mendengar ini, sang raja pun tersadar bahwa setelah kematian, akan ada kehidupan lagi dalam perpindahan-perpindahan bentuk yang lain. Dia dan semua yang mendengar pun menjadi senang dan bersemangat mendengarkan pengajaran yang belum pernah mereka dengar sebelumnya ini.


Perilaku yang salah (The inverted behaviour)


Setelah mendengar ini semua, Ananda bangkit dari duduknya, memohon di depan Sang Buddha, dengan dua telapak tangan tertangkup dan berlutut, "Yang mulia, jika baik penglihatan maupun pendengaran keduanya melampaui kondisi kelahiran dan kematian, mengapakah Sang Buddha berkata bahwa kita sudah kehilangan (pandangan) akan Hakekat Sejati dan karenanya berlaku dalam laku yang salah?

Apakah kiranya Sang Buddha berkenan untuk mencerahkan kami dan dengan begitu membasuh kami dari debu-debu yang mengotori kami?

Di situlah kemudian Sang Buddha menurunkan tangannya dengan jari-jari mengarah ke bawah dan bertanya pada Ananda : Sekarang ini, selagi kau melihat tanganku, apakah dia berada pada posisi yang tegak atau terbalik?

Ananda menjawab : Manusia duniawi menganggapnya terbalik, namun aku sendiri tidak tahu posisi mana yang bisa dikatakan tegak dan mana yang terbalik.

Sang Buddha kemudian bertanya : Jika mereka menganggap ini salah, lalu posisi seperti apa yang dianggap tegak?

Ananda menjawab : Jika Sang Buddha mengarahkan tangannya ke atas, maka itu akan dianggap tegak.

Sang Buddha kemudian mengangkat tangannya dan berkata : Jika manusia duniawi begitu membeda-bedakan antara tegak dan terbalik, mereka pun dengan cara yang sama membeda-bedakan antara tubuhmu dan tubuh Dharmakaya Sang Buddha yang suci dan murni, lalu mengatakan bahwa tubuh Tathagata sepenuhnya tercerahkan, sementara tubuhmu terbalik. Jika kau memeriksa dengan sungguh-sungguh tubuhmu dan tubuh Sang Buddha, di manakah letaknya yang disebut salah itu?


Setelah mendengar ini, Ananda dan mereka yang hadir pun bingung dan memandang ke arah Sang Buddha tanpa bisa menjawab apakah benar tubuh dan pikiran mereka salah/sesat.


Yang khayal dan Yang tercerahkan berasal (manifestasi) dari sumber yang sama. Delusion and Enlightenment are of the same source.


Sang Buddha yang tergerak oleh belas kasihan dan keluar dari rasa simpati akan Ananda dan sekalian yang hadir, berkata dengan suara yang seperti gelombang samudra : Hai orang-orang benar, aku selalu menyatakan bahwa bentuk dan pikiran dan semua yang ditimbulkan olehnya, semua kondisi mental dan semua fenomena yang memiliki sebab, semuanya hanyalah manifestasi dari pikiran.

Tubuhmu dan pikiranmu, hanyalah penampakan-penampakan di dalam Kesadaran Sejati yang terang, murni dan menakjubkan.

Mengapakah kamu terpisah/tersesat dari hakekat sejati dari Pikiran Yang Tercerahkan, yang berharga, bercahaya dan samar. Sehingga karenanya terperangkap pada khayal yang ada di dalam pencerahan?

‘Redupnya pikiran menciptakan kehampaan yang tumpul, dan keduanya dalam kegelapan menyatu menjadi bentuk. Bercampurnya bentuk dan pemikiran yang salah, menyebabkan bentuk menjadi tubuh, yang kemudian diaduk-aduk oleh sebab-akibat yang terakumulasi di dalam (tubuh) dan tertarik pada obyek-obyek external di luar (tubuh).

Begitulah kemudian, gangguan yang terjadi di dalam itu disalah pahami sebagai hakekat dari pikiran(jiwa), sehingga muncul ide yang salah bahwa (ada) pikiran/jiwa yang tinggal di dalam tubuh jasmani. Dan gagal pula menyadari bahwa tubuh jasmani ini, seperti juga gunung-gunung, sungai-sungai, ruang dan bumi tempat kita hidup (semua obyek external), semuanya itu sesungguhnya hanyalah fenomena di dalam Kesadaran Sejati yang terang dan menakjubkan.

Seperti orang bodoh yang tidak melihat samudra luas yang ada di depannya, tetapi sibuk meraih buih ombak dan menganggap buih ombak itu sebagai keseluruhan air yang luas tak terkira, sungguh kalian ini terjebak pada khayalan di dalam khayalan.

Persis seperti kebingungan yang sama, yang timbul ketika aku mengarahkan tanganku ke bawah. Dan karenanya, sungguh-sungguh Tathagata berkata, kalian ini berada dalam keadaan yang sangat menyedihkan.




Lanjut ke bagian I.3.4

Selasa, 10 November 2015

Bagian I.3.3

Manusia yang tersesat, yang memunggungi kebenaran (Inverted Men)


Meskipun Ananda dan sekalian yang hadir sudah mendengar kata-kata itu, namun mereka masih tetap terdiam. Karena mereka belum tergugah kesadarannya akan Pengajaran, mereka pun menangkupkan tangan bersama dan menantikan pengajaran Sang Buddha


Pandangan dunia yang terbalik (The worlding's inverted views)


Sang Buddha kemudian mengangkat tangannya dan meluruskan jari-jarinya untuk melanjutkan pengajarannya pada Ananda dan sekalian yang hadir di sana, lalu bertanya : Setelah aku mencapai Pencerahan, aku pergi ke Taman Mrgadava di mana aku memberi tahu Ajnata-kaundiya dan lima orang bhikku yang bersamanya, serta kamu para biarawan, biarawati dan praktisi sekalian, bahwa yang menyebabkan semua makhluk hidup gagal untuk menyadari Pencerahan dan mencapai Arhat, adalah dikarenakan mereka disesatkan oleh debu-debu asing yang menciptakan delusi dan kesusahan.

Apa yang pada waktu itu membuat kamu tersadar, sehingga sekarang ini kamu berhasil memenangkan buah yang kudus itu?


Ajnata-kaundiya kemudian bangkit dari tempatnya berdiri dan menjawab: Sekarang aku menjadi penatua di antara mereka yang hadir di sini saat ini, di mana akulah satu-satunya yang berhasil mendapatkan seni menerjemahkan karena aku sudah tersadarkan dari apa yang dimaksudkan dengan debu-debu asing itu, sehingga akupun berhasil memenangkan buahnya.

Yang mulia, debu-debu asing itu serupa dengan seorang tamu di sebuah penginapan, di mana dia beristirahat menghabiskan malam, bangun pagi untuk sarapan, kemudian berkemas dan melanjutkan kembali perjalanannya, karena tidak mungkin bagi dia untuk terus menerus tinggal di penginapan itu.

Sementara si pemilik penginapan itu sendiri, tidak memiliki tempat lain yang bisa dia tuju (dia selamanya tinggal di penginapan itu). Kesimpulannya adalah yang tidak tinggal diam adalah tamu dan yang tinggal diam (menetap) adalah pemilik.

Sebagai konsekuensi-nya, segala sesuatu adalah asing (bukan aku) jika dia tidak tinggal menetap. Lagi, ketika matahari bersinar cerah dan cahayanya masuk ke dalam rumah, debu-debu pun terlihat terbang ke sana-ke mari di antara cahaya matahari, sementara ruang kosong tinggal tetap. Aku menyimpulkan bahwa yang tetap tinggal, diam/tidak bergerak/kekal, adalah kehampaan/kosong dan yang bergerak adalah debu.

Sebagai konsekuensinya, sesuatu itu adalah "debu" ketika dia didapati bergerak/tidak diam/tidak kekal.

Sang Buddha berkata: Benar.

Pandangan yang salah dari kelompok Hinayana (The Hinayanist’s inverted views).


Sang Buddha kemudian membungkuk, meluruskan dan mengepalkan jari-jarinya. Kemudian bertanya pada Ananda : Apa yang kamu lihat?

Ananda menjawab : Aku melihat Sang Buddha membuka dan menutup kepalan tangannya.

Sang Buddha bertanya: Kamu berkata bahwa kamu melihat aku membuka dan mengepalkan tanganku, yang manakah yang membuka dan menutup? Tanganku atau penglihatanmu yang membuka dan menutup?

Ananda menjawab : Selagi tangan Buddha membuka dan menutup, aku melihat bahwa tangan itu dan bukan penglihatanku yang melakukannya.

Sang Buddha bertanya: Yang manakah yang bergerak dan yang mana yang diam?

Ananda menjawab : Tangan Sang Buddha yang tidak diam, sementara natur dari penglihatanku yang sudah dari sejak sebelumnya melampaui kondisi diam (dan tidak), dia tentunya tidak bergerak.


Sang Buddha berkata : Benar.


Kemudian Sang Buddha memancarkan cahaya dari telapak tangannya ke sebelah kanan Ananda. Para murid pun menengokkan kepala untuk melihat. Kemudian dia memancarkan lagi cahaya lain ke sebelah kiri Ananda, dan kepala semua murid pun bergerak untuk melihatnya.

Sang Buddha bertanya : Mengapa kepalamu bergerak?

Ananda menjawab : Karena aku melihat cahaya yang memancar dari telapak Sang Buddha di kanan dan di kiriku. Aku menengokkan kepalaku untuk melihatnya. Itu sebabnya kepalaku bergerak.

Sang Buddha bertanya lagi: Selagi kau menengok ke kanan dan ke kiri untuk melihat cahaya itu, apakah kepalamu atau penglihatanmu (kesadaran yang mengamati/melihat) yang bergerak.

Ananda menjawab: Yang mulia, adalah kepalaku yang bergerak, sementara penglihatanku yang sudah melampaui (kondisi/state) diam, bagaimana dia bisa bergerak? (*mengada, bukan diam bukan bergerak, bukan ini bukan itu, dst).

Sang Buddha menjawab: Benar.

Kemudian Sang Buddha berkata pada semua yang hadir : Jadi setiap manusia tahu bahwa apa yang tidak bisa diam adalah debu dan dia yang tidak tinggal tetap adalah tamu. Kamu melihat kepala Ananda yang bergerak, sementara (hakekat) penglihatannya sendiri tidak bergerak. Kamu juga melihat tanganku yang membuka dan menutup, sementara (hakekat) penglihatan itu sendiri tidak mengembang atau mengerut.

Jadi mengapa kamu masih menganggap (terpikat oleh) pergerakan dari tubuh dan obyek di luar tubuh, dan karenanya, dari awal hingga akhir, mengijinkan pikiranmu timbul dan tenggelam tanpa jeda, yang mengakibatkan kamu kehilangan arah pandang pada hakekat dirimu yang sesungguhnya dan membiarkan diri tenggelam dalam perbuatan yang membodohkan dirimu sendiri?

Dengan kehilangan pandangan pada yang hakiki dari kesadaran (diri sejati) dan dengan salah mengerti menganggap yang bayang-bayang (dari obyek-obyek) sebagai dirimu (aku/ego), kamu mengijinkan dirimu terperangkap dalam roda samsara, dan dengannya memaksa dirimu sendiri melewati berbagai macam perubahan.





Lanjut ke Bagian I.3.3 (part-2)

Bagian 1.3.2 (part-2)

Cahaya terang yang menunjukkan Realita Sejati (A bright Light to reveal the One Reality)


Dari diri Tathagata, dari swastika di dadanya, muncul cahaya warna-warni yang menyinari semua daratan Buddha di 10 penjuru, yang jumlahnya tak terhitung banyaknya dan setelah menyinari kepala pada Buddha di segala tempat, kemudian berbelok mengarah pada Ananda dan mereka yang hadir di sana.

Sang Buddha kemudian berkata pada Ananda: Aku menaikkan panji Dharma Yang Besar, agar kamu dan sekalian yang hidup di sepuluh penjuru boleh menyadari Pikiran yang murni dan terang, dari sifat alamimu yang mendalam dan samar, dan dengan demikian boleh memenangkan Mata yang murni dan jernih.


Mengembalikan persepsi kepada Pikiran Sejati (Returning perception to Mind)


Sang Buddha berkata: Ananda beberapa saat yang lalu kau berkata bahwa kau melihat kepalan tanganku yang berkilauan, katakan padaku, bagaimana kilaunya bisa muncul, apa yang menyebabkan dia mengabil bentuk kepalan tangan dan dengan apa kamu melihatnya?


Ananda menjawab : Tubuh Sang Buddha yang bersemu emas seperti bukit yang mahal dan memanifestasikan keadaan yang suci dan bersih, sehingga kepalan tangannya pun berkilauan. Dan sesungguhnya, matakulah yang melihat dia mengepalkan tangannua dan menunjukkannya pada kami semua.


Sang Buddha berkata: Sesungguhnya orang bijak akan disadarkan oleh contoh dan analogi.  Ananda, jika aku tidak memiliki tangan, aku tidak akan memiliki kepalan tangan dan jika kamu tidak memiliki mata, maka kamu tidak akan memiliki penglihatan. Adakah hubungan antara organ penglihatanmu dan kepalan tanganku?

Ananda menjawab: Ya, Yang mulia. Jika aku tidak memiliki mata, maka aku tidak akan bisa melihat. Jadi ada analogi antara organ penglihatanku dan kepalan tangan Sang Buddha.

Sang Buddha berkata: Pemikiranmu tidaklah tepat. Sebagai contoh, seseorang yang tidak memiliki tangan sudah pasti tidak akan memiliki kepalan tangan (telapak tangan), tetapi seseorang yang tidak memiliki mata, masih memiliki (faktor) penglihatan. Ketika kamu bertemu seorang buta dan bertanya apakah yang dia lihat, dia akan menjawab bahwa dia tidak melihat apa-apa, hanya ada kegelapan di depannya.

Artinya, meskipun obyek-obyek pemandangan di hadapannya itu tersembunyi darinya, namun  proses melihat itu sendiri masih berlangsung.

Ananda menjawab: Jika seorang buta tidak melihat apa-apa, kecuali kegelapan di depannya, masih bisakah hal ini disebut melihat?

Sang Buddha bertanya, adakah perbedaan antara kegelapan yang dilihat oleh orang buta dengan kegelapan yang dilihat oleh seseorang ketika dia berada di dalam ruangan yang gelap?

Ananda menjawab: Tidak ada Yang mulia.

Sang Buddha kembali bertanya: Ananda, ketika seseorang yang buta, yang sebelumnya selalu melihat kegelapan saja, kemudian tiba-tiba mendapatkan kembali penglihatannya dan bisa melihat segala sesuatu dengan jelas, jika kau berkata bahwa matanya itulah penglihatannya. Maka ketika seseorang yang berada di dalam ruangan yang gelap menyalakan lampu dan kemudian bisa melihat dengan jelas isi ruangan itu, bukankah kamu juga seharusnya mengatakan bahwa lampu itulah yang melihat?

Tapi bukankah bukan demikan adanya?

Karena itu seharusnya kamu pun tahu sekarang, bahwa meskipun lampu itu yang membuat bentuk-bentuk jadi bisa dilihat, namun penglihatan datang dari mata dan bukan dari lampunya.

Demikian juga meskipun matamu mengungkapkan bentuk-bentuk untuk kamu lihat, namun sesungguhnya penglihatan itu pada hakekatnya datang dari pikiran, bukan dari mata.



Lanjut Bagian 1.3.3

Bagian I.3.2 (part-1)

Persepsi yang terputar balik (The Inverted Perception).


Setelah mendengar ini semua, Ananda dengan pedih menangis dan merendahkan dirinya di hadapan Sang Buddha, dengan kepala, lutut dan siku di atas tanah, berlutut dan menangkupkan kedua telapak tangan lalku berkata:

"Setelah aku meninggalkan rumah dan mengikut Sang Buddha, aku melulu bergantung pada kekuatan Sang Buddha dan berpikir bahwa aku bisa bebas dari melakukan laku karena Sang Buddha akan mengaruniakan padaku samadhi.

Aku tidak mengerti bahwa Sang Buddha tidak bisa menggantikan diriku dan dengan demikian aku kehilangan (penglihatan akan) Pikiranku yang hakiki. Itu sebabnya, meskipun aku sudah mengikuti perkumpulan ini, pikiranku masih juga belum mampu masuk ke pada Jalan. Aku seperti anak hilang yang lari menjauh dari ayahnya.

Barulah aku sadar sekarang, bahwa meskipun aku banyak mendengarkan pengajaran, jika aku tidak menjalani praktek/laku, maka keadaanku adalah sama seperti tidak mendengar apa-apa. Seperti seseorang tidak mungkin bisa kenyang, hanya dengan berkata-kata tentang makanan.

Yang mulia, aku terperangkap oleh dua penghalang/hambatan, karena aku tidak mengetahui sifat alami dari Pikiran sejati yang diam dan kekal. Kiranya Sang Tathagata berkenan untuk menerangkan Pikiran Sejati itu padaku dan dengan demikian bisa membuka penglihatanku (my Tao eye).




Lanjut ke I.3.2 part-2

Bagian I.3.1

Kesesatan (Pemutar balikan Realita) Aktual (Actual Inversion)

 

Pikiran yang terbalik (The Inverted Mind)

Menyelidiki pikiran yang sesat/salah (terbolak-balik).

Sang Buddha berkata: Ananda, sebelumnya kamu sudah bertanya tentang Gerbang Samatha, jalan untuk melepaskan diri dari siklus lahir dan mati, sekarang aku akan bertanya padamu.

Kemudian Sang Buddha mengangkat tangannya dan membengkokkan jari-jarinya dan bertanya, "Ananda, kamu melihat ini?"

Ananda menjawab : Aku melihat Sang Buddha mengangkat tangannya dan membengkokkan jari-jarinya, menunjukkan kepalan tangan yang kilaunya menyilaukan mata dan akal pikiranku.

Sang Buddha kemudian bertanya: Dengan cara bagaimana kamu melihatnya?

Ananda menjawab: Aku dan semua yang hadir di sini menggunakan mata untuk melihatnya.

Sang Buddha kemudian bertanya: Kamu berkata bahwa aku membengkokkan jari-jariku dan menunjukkan kepalan tangan yang menyilaukan mata dan pikiran. Sekarang katakan padaku, dengan melihat kepalanku ini, apa itu pikiran/akal yang katamu melihat kilau dari kepalan ini?

Ananda menjawab : Karena Tathagata (sebelumnya sudah) bertanya tentang akal/pikiran dan aku sudah berusaha mencari sendiri dengan segenap kemampuanku, aku berkesimpulan bahwa hal itu (pikiran) yang menyelidiki itulah akal/pikiranku.


Berpikir (proses berpikir) adalah sesuatu yang tidak nyata. (Thinking is unreal)

Sang Buddha berkata: Hey! Ananda, hal ini (yang dipandang Ananda sebagai akal/pikiran) bukanlah pikiranmu.

Ananda terdiam dalam kebingungan, menyatukan kedua telapak tangan, bangkit dari duduknya dan bertanya: Jika hal ini bukanlah akal budi/pikiran, lalu apakah ini?’

Sang Buddha menjawab: Ananda, hal itu adalah pikiran/akal semu yang timbul dari obyek-obyek external, yang menipu natur (sifat alami)-mu yang sejati dan menyesatkanmu pada (perbuatan/laku) melakukan kesalahan. Sejak awal sebelum permulaan, dialah pencuri untuk anakmu sendiri, dan dengannya membuatmu kehilangan (penglihatan akan) apa yang pada dasarnya kekal; dan dari situlah munculnya siklus lahir dan mati.


Kesadaran yang ke-enam adalah kosong.  (The sixth consciousness is empty)

Ananda berkata: Aku adalah saudara sepupu termuda dari Sang Buddha, yang pikiranku amat mengaguminya sehingga aku memutuskan untuk meninggalkan rumah untuk melayani dan mengikuti Tathagata (Sang Buddha), sekalian para Buddha dan para guru yang tercerahkan di negeri ini, yang jumlahnya seperti butiran pasir si Sungai Gangga.

Jika aku sampai bertekad untuk menjalani semua bentuk laku Dharma yang sulit, itu adalah karena aku menggunakan akal pikiranku, dan bahkan bila aku sekarang melanggar Dharma, mengakibatkan melemahnya kelebihan-kelebihanku untuk selamanya, hal itu pun diakibatkan oleh akal pikiranku.

Jika ini bukanlah pikiran/akal, maka artinya aku ini tidaklah berakal, tidak ubahnya seperti tanah atau batang kayu, karena tidak ada apa-apa di luar dari apa yang aku rasakan dan aku ketahui. Apakah alasan Sang Buddha sekarang mengatakan bahwa hal itu bukanlah akal/pikiran? Hal ini sungguh membuatku gentar, demikian juga sekalian yang hadir di sini, tidak seorangpun terhindar dari rasa ragu dan curiga tentang hal ini.

Berkenankah Sang Buddha untuk mencerahkan kami?

 Dari singgasananya, Sang Buddha, dalam usahanya untuk mengajar Ananda dan sekalian mereka yang hadir di sana, agar mereka semua dapat mencapai Ketabahan dari Yang tidak tercipta (Patient Endurance of the Uncreate / Anutpattika-dharmakùànti), mengangkat tangannya dan menyentuh kepala Ananda sembari berkata:

"Sang Tathagata sejak awal sudah selalu menyampaikan bahwa semua fenomena adalah manifestasi dari pikiran dan semua sebab dan akibat yang termasuk (semua hal dari) dunia ini sampai pada debu-debunya, mengambil bentuk (semata-mata) disebabkan (timbul dari) pikiran."

Ananda, jika kita mengamati dunia ini dan segala yang ada, termasuk rumput dan dedaunan, dan kemudian menyelidikinya sampai pada akarnya, mereka semua terbentuk dari materi dan memiliki kualitas, dan bahkan kehampaan yang kosong pun memiliki nama dan penampakan. Lalu bagaimana bisa Pikiran Yang Tercerahkan yang murni dan suci dan sungguh-sungguh mendalam, yang merupakan sifat alami (yang mendasari timbulnya) setiap akal/pikiran adalah sesuatu yang tidak memiliki substansi-nya sendiri?




Jika kau berpegang teguh pada pengetahuan yang datang dari membeda-bedakan antara merasakan dan melihat, sebagai pikiranmu yang sejati, maka seharusnya hal itu (pikiran) memiliki sifat alami yang bebas, tidak bergantung pada segala bentuk, bau, rasa dan sentuhan (data-data yang dikumpulkan oleh panca indera). (Padahal) Sekarang pun ketika kau mendengarkan pengajaran ini, kamu berpikir, memilah-milah, itu adalah karena kamu mendengar suaraku.

Kesadaran ke-tujuh adalah tidak nyata (The seventh consciousness is unreal).

Kalaupun kemudian kamu berhasil menghentikan semua proses melihat, mendengar, merasa dan mengetahui, dan dengan demikian menjaga keheningan di dalammu, bayang-bayang dari memahami (pengetahuan, kesadaran), masih belum hilang. Aku tidak ingin kamu kemudian berpikir bahwa ini bukan pikiran, tetapi bahwa kamu harus meyelidikinya dengan hati-hati dan sangat teliti: bahwa apa yang secara terus-menerus, memiliki sifat alami untuk memahami, meskipun pada kondisi di mana panca indera sudah berhenti bekerja, inilah sesungguhnya adalah pikiran sejati-mu.

Sebaliknya, jika yang memiliki natur untuk memahami ini, berhenti mengada seiring dengan berhentinya panca indera bekerja, maka ini tidak lebih adalah bayang-bayang dari pikiran sejati, yang keberadaannya tergantung dari adanya data-data yang disampaikan panca indera. Karena mereka ini tidak kekal dan ketika mereka berhenti mengada, demikian juga (apa yang selama ini kamu sebut/pandang/anggap) sebagai pikiran (sesungguhnya tidak ada, tidak memiliki keberadaan yang nyata), seperti rambut tumbuh di kura-kura atau tanduk seekor kelinci (sesuatu yang khayal/dibuat-buat/tidak nyata).

Karena jika Dharmakaya dengan mudah berhenti mengada, siapa kemudian yang akan menjalani laku dan mencapai pencerahan akan kekekalan dari Yang Tidak Tercipta?

Setelah mendengar ini, Ananda dan semua yang hadir pun terheran-heran.

Meniadakan semua kesesatan atau pemutar balikan (Refuting all inversion).

Sang Buddha berkata: Para praktisi, meskipun setelah mereka mencapai sembilan level dhyana, masih juga belum bisa melangkah keluar dari arus aliran perpindahan (siklus lahir dan mati) dan dengan demikian gagal menjadi Arhat, itu semua terjadi karena mereka masih bergantung/melekat pada kesalahan cara berpikir yang menurut pemahaman mereka adalah Realita. Itu sebabnya, meskipun kamu sudah banyak mendengar (Dharma), kamu masih gagal untuk memenangkan buah yang kudus.




Lanjut Bagian I.3.2

Bagian I.2 (part-2)

Asal mula munculnya pemutar balikan Realita (kesesatan/penyesatan).


Sang Buddha berkata: Sejak dari sebelum permulaan, semua makhluk hidup memunculkan berbagai macam kesalahan/penyesatan dikarenakan benih karma (ketidak tahuan) yang tumbuh seperti semak belukar (aksa shrub).

Itu sebabnya para pencari kebenaran gagal untuk mencapai kesadaran akan Pencerahan Yang Utama, tetapi hanya sampai pada tahap ravaka, pratyeka-buddha, heretic, dewa-dewa dan siluman (demon), semata-mata karena mereka tidak tahu dua kesalahan/kesesatan mendasar (basic inversions), dan karenanya menjalani laku yang salah seperti tidak mungkin seseorang menghasilkan makanan dengan memasak pasir, tidak peduli berapa ratus tahun sudah berlalu dalam laku.

Apa dua kesesatan (pemutar balikan) yang mendasar ini?

Ananda, kesesatan yang pertama adalah akar asal muasal, akibat yang timbul dari siklus lahir dan mati, sejak dari awal sebelum segala sesuatu bermula, akibat penyalah gunaan pikiran yang melekat, makhluk hidup salah memahami natur (sifat alami) dari dirinya sendiri.

Yang kedua adalah kemelekatan mereka pada kondisi sebab-akibat yang menutupi esensi kesadaran yang pada dasarnya terang benderang, yang pada hakikatnya adalah Pencerahan Sorgawi yang murni dan suci. Sehingga oleh karena kesalahan ini merekapun mengabaikan hakikat dasar yang terang/jernih dan berpindah menuju dan melewati alam-alam keberadaan yang khayal/semu tanpa menyadari kesia-siaan dari laku mereka.



Lanjut ke Bagian I.3

Bagian I.2 (part-1)

Menolak akal budi semu untuk meniadakan agregat ketiga dan menunjukkan ketidak realitasan bentuk kesadaran ke-6.


Maka Ananda pun bangkit berdiri dari tempat dia duduk, melepaskan penutup bahu kanannya, berlutut di atas lutut kanannya, dengan hikmat menyatukan kedua tangan dan berkata pada Sang Buddha: "Aku adalah saudara sepupu termuda dari Tathagata (Buddha) dan karena kasihnya padaku, aku diijinkan untuk menjadi muridnya, tetapi aku kurang memahami belas kasihnya."

"Dan karenanya meskipun aku sudah mendengar banyak sekali ajarannya, aku gagal menghindari yang duniawi dan tidak mampu mengatasi godaan yang membuatku mendatangi rumah pelacuran."

"Semua ini terjadi karena aku gagal mencapai (kesadaran/pencerahan akan) Realita. Kiranya Yang Mulia berkenan untuk berbelas kasihan dan mengajarkan pada kami, Jalan Samatha, untuk kepentingan mereka yang lemah imannya dan masih berpegang pada pandangan-pandangan yang sesat."

Setelah mengatakan itu semua, Ananda berlutut menyembah dengan lutut, siku dan kepalanya menyentuh tanah. Kemudian dia pun bangkit berdiri, menanti dengan hikmat. Seluruh mereka yang hadir di sana, dengan penuh perhatian menantikan pengajaran.


 Menunjukkan Samadhi yang Terang (Revealing the Bright Samàdhi)


Dengan kekuatan transenden Sang Buddha, sekian banyak lajur sinar berkumpul, seterang ratusan bahkan ribuan matahari, bersinar keluar dari dahinya, menerangi seluruh dataran Buddha yang menggetarkan enam jenis gempa. Hingga sekian banyak dunia, tak terhitung banyaknya, muncul berurutan satu demi satu dan menyatu menjadi satu dunia di mana masing-masing para Boddhisatwa di dunianya masing-masing, menyatukan telapak tangan dan bersama-sama mendengarkan Dharma.



Lanjut ke Bagian I.2 (part-2)

Bagian I.1 (part-3)

Ananda berkata: Aku selalu mendengar Buddha mengajar: Ketika akal budi tidak bisa diam, maka terciptalah segala hal dan muncul segala macam pemikiran. Sekarang aku berpikir bahwa substansi dari pemikiran-pemikiranku itu (yang dinamakan akal budi) adalah natur dari akal budi yang muncul ketika natur itu bersatu/bergabung dengan yang di luar (hal-hal apa yang ditangkap panca indera) di mana pemikiran-pemikiran itu bukan di dalam, juga bukan di luar, bukan pula berada di antaranya.

*Mungkin maksud Ananda, akal budi sebenarnya tidak ada, tidak bersubstansi, dia muncul hanya sebagai reaksi alami dari ditangkapnya fenomena. CMIIW.

Sang Buddha berkata: Kau baru saja berkata bahwa karena fenomena-fenomena diciptakan, segala macam bentuk pikiran muncul ketika bertemu dengannya.Jadi akal budi itu sendiri tidak memiliki substansi dan karenanya tidak mungkin bisa menyatu dengan apapun. Karena jika apa yang tidak bersubstansi bisa menyatu dengan apa yang ada di luar, maka persatuan ini adalah bentuk alam indera ke-19, bagian dari indera ke-tujuh.

(*The Buddha said: ‘You have just said that because phenomena are created, all kinds of mind appear when uniting with them. So this mind has no substance and cannot unite with anything. If that which has no substance can unite with externals, this is union of the nineteenth realm of sense with the seventh sense datum.) Mungkin ada yang lebih memahami dan menerjemahkan bagian ini dgn lebih baik.

Hal ini sepenuhnya adalah omong kosong. Jika akal budi memiliki substansi, ketika tangan memegang tubuh, apakah akal merasakan sentuhan ini datang dari dalam atau dari luar? Jika dari dalam, maka seharusnya kamu bisa melihat apa yang ada di dalam tubuh dan kalau dikatakan dirasakan datang dari luar, maka seharusnya kamu bisa melihat wajahmu sendiri.

Ananda menjawab: Matalah yang melihat dan akal yang mengetahui bukanlah mata, jadi tidak bisa dikatakan akal itu melihat.

Sang Buddha berkata: Jika matalah yang melihat, maka ketika kamu berada di dalam ruangan, apakah kamu melihat pintu (yang ada di luar)? Mereka yang sudah mati dan masih memiliki mata, jika matalah yang melihatm maka harusnya mereka masih bisa melihat. Jika mereka masih bisa melihat, bagaimana bisa dikatakan mereka sudah mati?

Ananda, jika akal budi memiliki substansi, apakah substansinya itu tunggal atau jamak? Jika dia di dalam tubuh, apakah dia menyebar di seluruh bagian tubuh atau tidak? Jika dia tunggal, ketika kau memegang salah satu tangan atau kakimu, ke empat-empatnya akan merasa dipegang pula. Dengan demikian tidak bisa dikatakan, dia itu satu/tunggal substansi. Jika dia jamak, maka artinya akan ada banyak kepribadian/orang dan yang manakah yang bisa dikatakan sebagai dirimu jika dia menyebar ke seluruh tubuh? Jika dia tunggal, tidak menyebar di mana-mana, ketika kau memegang kepalamu dan kakimu bersamaan, maka entah kepalamu atau kakimu akan merasa dipegang sementara yang lain tidak.

Karena itu Ananda, pemikiranmu bahwa akal budi muncul (hanya ada) ketika ada persatuan dengan ransangan dari luar tidaklah berdasar.

Ananda menjawab: Yang Mulia, aku mendengar Sang Buddha berdiskusi tentang Realita dengan para Boddhisatwa, dia berkata bahwa akal itu tidak di dalam, juga tidak di luar. Aku sekarang menyimpulkan bahwa jika akal itu ada di dalam, dia tidak melihat/tahu apa pun yang ada di dalam; dan jika dia di luar, keduanya tidak saling merasakan keberadaan yang lain. Jadi mengatakan akal/pikiran itu ada di dalam tubuh adalah salah, di luar juga salah. Karenanya aku menyimpulkan bahwa pikiran itu tidak di dalam, tidak di luar, melainkan ada di antara dalam dan luar (di tengah-tengah?).


Sang Buddha menjawab : Jika kita menuruti pemikiran itu, artinya pikiran memiliki posisi tertentu. Sekarang menurut pemikiranmu itu, di manakah posisi "antara" ini? Apakah maksudnya di dalam atau di permukaan tubuh? Di tengah-tengah tubuh? Bukankah artinya sama saja dengan mengatakan bahwa posisinya ada di dalam tubuh (sudah terbukti salah sebelumnya)? Lebih-lebih lagi, apakah posisi ini ada secara nyata atau tidak? Jika tidak artinya tidak ada. Jika ada artinya tempatnya tidaklah tetap. Kenapa? Sebagai contoh kalau satu pasak ditanamkan di tanah untuk menandai posisi tengah-tengah, maka dilihat dari timur dia ada di barat, dilihat dari selatan dia ada di utara. Seperti mematok posisi dengan pasak ini hanya membawa pada kebingungan, maka pemikiranmu tentang posisi di antara/tengah-tengah, dari akal ini pun membawa kekacauan.


Ananda menjawab: Posisi di antara yang aku maksudkan bukanlah seperti itu. Seperti Yang mulia jelaskan, bahwa mata dan bentuk adalah penyebab timbulnya persepsi penglihatan. Sementara mata membuat kita bisa membedakan, bentuk tidaklah mengikuti/dipengaruhi apa-apa selain dirinya sendiri, dan persepsi muncul di antara keduanya, dari situ akal muncul.

Sang Buddha menjawab: Jika akal muncul di antara panca indera dan obyek data, apakah pikiran itu mencakup keduanya atau tidak? Jika dia mencakup keduanya, maka substansi dari akal itu dan substansi dari obyek di luar (diri) akan bercampur dan karena akal memiliki persepsi sementara obyek di luar tidak, kedua ujung yang berlawanan akan menjadi satu, jadi di mana bisa dikatakan ada posisi di antara/tengah-tengah? Kalau tidak inklusif, dia bukan yang mengetahui (panca indera), bukan pula obyeknya, artinya akal ini tidaklah bersubstansi, jadi sekali lagi apa maksudnya dengan posisi di antara ini? Karena itu, pemikiranmu ini lagi-lagi tidaklah berdasar.

Ananda berkata: Yang mulia, sebelumnya saat aku melihat Sang Buddha dan 4 murid utama, memutar Roda Hukum, dia berkata bahwa natur dari mengetahui dan pikiran yang membeda-bedakan, adalah tidak di dalam, tidak di luar, tidak juga di antaranya, dia tidak berada di mana-mana dan tidak melekat pada apa pun, sehingga disebutlah dia sebagai akal budi. Apakah yang tidak melekat pada apa pun ini yang disebut akal/pikiran?

Sang Buddha menjawab: Baru saja kamu mengatakan bahwa natur dari pengetahun dan pikiran yang membeda-bedakan tidak berada di mana-mana. Sekarang di dunia ini, semua hal yang ada di udara, di air dan di darat, baik yang terbang maupun yang berjalan, membuat lengkap semua eksistensi dari apa yang ada.

Tentang sesuatu yang tidak melekat pada apa pun, apakah kamu maksudkan, dia itu memiliki eksistensi atau tidak? Jika dia tidak eksis, baik itu rambut di kura-kura atau tanduk seekor kelinci (sesuatu yang tidak ada, hanya dibuat-buat, sebagai contoh tentang sesuatu yang tidak memiliki eksistensi? CMIIW), bagaimana bisa dikatakan tidak melekat? Jika dikatakan tidak memiliki eksistensi, apa yang tidak ada tentunya tidak memiliki eksistensi dan apa yang memiliki eksistensi tentu seharusnya memiliki posisi, jadi bagaimana bisa ada sesuatu yang tidak melekat? Karena itu pendapatmu tentang sesuatu yang tidak melekat pada apa-apa adalah tidak berdasar.



Lanjut ke Bagian I.2

Senin, 09 November 2015

Bagian I.1 (part-2)

Ananda menjawab : Yang Mulia, semua makhluk hidup lahir ke dunia lewat 10 jenis kelahiran nerpendapat bahwa akal terdapat di dalam tubuh. Kemudian saat aku melihat mata Buddha, aku melihat bahwa mata Buddha berada di wajahnya.

Jadi menurut pengertianku, mataku terdapat pada wajahku dan akal budiku berada di dalam tubuhku.

Sang Buddha bertanya: Sekarang saat kau duduk di balai ini, di manakah kau melihat Taman Jetavana berada?


Ananda menjawab: Yang Mulia, balai ini terletak di dalam Taman Jetavana, dengan demikian, Taman Jetavana ada di luar Balai ini.


Sang Buddha bertanya kembali: Sekarang dari dalam balai ini, apa yang pertama-tama kamu lihat?

Jawab Ananda : Yang Mulia, dari dalam balai ini, pertama-tama aku melihat Tathagata (Sang Buddha), kemudian mereka sekalian yang berkumpul di sini dan baru kemudian setelah melihat keluar, barulah aku melihat Taman Jetavana.

Sang Buddha bertanya: Ketika kamu melihat Taman Jetavana, apa yang menyebabkan kamu bisa melihat taman itu?

Ananda menjawab: Karena ada pintu dan jendela yang terbuka, sehingga meskipun aku duduk di dalam balai, aku bisa melihat taman yang ada di luar.

Kemudian Buddha mengajukan tangannya dan menyentuh kepala Ananda dan berkata: "Ada satu tehnik samadhi bernama Surangama, satu gerbang lewat mana segenap Buddha dari segala penjuru berhasil sampai pada Jalan yang Mulia."

"Ananda, sekarang dengarkan baik-baik."


Ananda pun berlutut di depan kaki Sang Buddha dan bersiap untuk mendengarkan pengajaran Sang Buddha.

Sang Buddha berkata : Jika kau berkata bahwa, ketika kau duduk di dalam balai ini, kau dapat melihat ke taman yang ada di luar melalui pintu dan jendela yang terbuka. Maka seharusnya adalah mungkin bagi mereka yang ada di dalam balai ini, untuk bisa melihat apa yang di luar balai ini, tanpa melihat Buddha (yang ada di dalam).

Ananda menjawab: Tidak bisa, seseorang (yang ada di dalam) tidak bisa melihat taman di luar tanpa melihat Buddha.

Sang Buddha berkata: Demikian juga denganmu, (jika pikiranmu tidak tertutup), akan menjadi jelas bagimu semuanya ini. Jika akalmu berada di dalam tubuhmu, maka pertama-tama akan menjadi jelas bagimu apa yang ada di dalam tubuhmu, sebelum jelas bagimu apa yang ada di luar tubuhmu.

Jadi jika seperti yang kau katakan, bahwa akal budimu ada di dalam tubuhmu, mengapa kamu bisa melihat apa yang ada di luar tubuhmu, tetapi tidak bisa melihat apa yang ada di dalam tubuhmu? Karena itu tidak tepat perkataanmu, bahwa akal budimu berada di dalam tubuhmu.

Ananda pun menyembah dan menjawab: Setelah mendengar penjelasan Sang Buddha, sekarang aku mengerti bahwa akal budiku itu berada di luar tubuhku. Seperti adanya sebuah lampu yang menerangi satu ruangan di depan beranda lewat pintu yang terbuka.

Jika aku tidak bisa melihat apa yang di dalam tubuhku, namun bisa melihat apa yang di luar tubuhku, itu adalah seperti lampu yang ada di luar ruangan tidak bisa menerangi yang ada di dalam ruangan. Benarkah demikian yang Buddha maksudkan?

Sang Buddha menjawab: Semua Bhikku yang mengikutiku meminta-minta makanan sekarang sudah kembali ke dalam Taman Jetavana. Jika semua sudah selesai makan, tetapi masih ada satu bhikku yang belum selesai makan, bisakah dikatakan, seluruhnya (satu komunitas ini) sudah kenyang?

Ananda menjawab: Tidak, Yang Mulia, sekalipun mereka Arhat, mereka tidak memiliki satu tubuh yang sama ataupun satu kehidupan yang sama. Dengan demikian tidak mungkin yang satu makan dan yang lain menjadi kenyang karenanya.

Sang Buddha berkata: Jika akal budimu berada di luar tubuh dan keduanya adalah dua kesatuan yang berbeda. Maka ketika akal budimu mengetahui sesuatu, tubuhmu tidak merasakannya. Ketika tubuhmu merasakan sesuatu, akal budimu tidak akan menyadarinya. Sekarang ketika aku menunjukkan tanganku, apakah matamu melihat dan akal budimu mengetahuinya?

Ananda menjawab: Ya, Yang Mulia, akal budiku mengetahuinya.


Sang Buddha pun berkata: Jika demikian, bagaimana mungkin akal budimu berada di luar tubuhmu? Dengan demikian pemikiranmu bahwa akal budi berada di luar tubuh tidaklah berdasar.

Ananda menjawab: Yang Mulia, seperti yang kau katakan, jika akal budi berada di dalam tubuh, maka akal budi akan bisa melihat/mengetahui apa yang ada di dalam tubuh. Jika akal budi berada di luar tubuh, maka tidak mungkin akal budi bisa mengetahui apa yang dirasakan oleh tubuh. Sekarang setelah aku pikirkan hal itu, aku tahu di mana akal budiku berada.

Sang Buddha pun bertanya: Di mana dia berada?

Ananda menjawab : Karena akal budi tidak melihat/tahu apa yang ada di dalam, namun bisa melihat/tahu apa yang ada di luar, aku berpendapat bahwa akal budiku itu tersembunyi di dalam panca inderaku. Analoginya seperti jika seseorang menutupi matanya dengan mangkuk dari kristal (tembus pandang), mangkok ini tidak menutupi indera ini yang mampu melihat/mengetahui apa yang bisa dilihat.

Jadi jika akal budi tidak bisa melihat apa yang ada di dalam, adalah karena dia berada di dalam panca indera (sementara panca indera berada di bagian luar tubuh) dan dia bisa melihat/tahu apa yang ada di luar, itu adalah karena dia ada di dalam indera (yang memang bisa tahu/merasakan) apa yang ada di luar.

Sang Buddha bertanya: Jika seperti yang kau katakan, akal budi tersimpan, tersembunyi seperti mata yang ditutupi mangkok kaca, sekarang ketika seseorang melihat sungai dan gunung apakah mereka juga melihat mangkok kaca itu (yang menutupi mata)?

Ananda menjawab: Ya, Yang mulia, orang itu juga akan melihat mangkuk kaca/kristal itu.

Sang Buddha pun berkata: Jika demikian, ketika kamu melihat sungai dan gunung, mengapa kamu tidak melihat matamu? Bukankah seperti mangkuk kristal itu, matamu menutupi akal budimu (akal budimu melihat melewati mata)? Dengan demikian pemikiranmu bahwa akal budi tersimpan/tersembunyi di dalam panca indera tidaklah berdasar.

Ananda bertanya: Yang mulia, sekarang aku berpikir bahwa mangkuk itu tersembunyi di dalam tubuh dan sebagian permukaannya berada di permukaan. Dengan begitu pada saat permukaan itu tertutup dia menjadi gelap dan saat permukaan itu terbuka dia menjadi terang.

Saat ini aku membuka mata dan bisa melihat dengan jelas ini disebut penglihatan keluar, lalu aku menutup mata dan hanya gelap yang terlihat, ini disebut penglihatan ke dalam. Menurut Buddha bagaimana dengan pemikiranku ini?

Sang Buddha menjawab: Ketika kau menutup mata dan melihat kegelapan, apakah kegelapan itu ada di depan matamu atau tidak? Jika dia ada di depan matamu, lalu bagaimana hal ini bisa disebut sebagai penglihatan ke dalam?

Kalaupun dikatakan ada yang namanya penglihatan ke dalam, ketika kau duduk di dalam ruang yang gelap tanpa cahaya matahari, bulan atau lampu, maka kegelapan itu pun harusnya ada di dalam tubuhnya. Jika dia tidak ada di berhadapan denganmu, bagaimana bisa ada melihat?

Sekarang mari kita lupakan apa yang kamu sebut sebagai penglihatan keluar dan kita asumsikan bahwa ada yang namanya penglihatan ke dalam, maka ketika kamu menutup matamu dan hanya bisa melihat kegelapan, yang menurutmu adalah apa yang ada di dalam tubuhmu, mengapa ketika kau membuka matamu dan dapat melihat dengan jelas, kamu tidak melihat wajahmu? Jika tidak bisa, bukankah itu artinya tidak ada itu namanya penglihatan ke dalam.

Sekarang kalau kita asumsikan bahwa kamu bisa melihat wajahmu sendiri, artinya akal budi dan indera penglihatanmu ada di udara (di depan wajah), lalu bagaimana bisa ada penglihatan ke dalam (krn baik akal budi maupun mata ada di luar tubuh)?

Jika mereka ada di luar tubuh, artinya mereka bukan bagian dari tubuhmu dan (jika dikatakan mereka bagian dari tubuh) Buddha yang sekarang melihat tubuhmu pun adalah tubuhmu juga. Lalu jika matamu melihat sesuatu (karena akal & mata di luar tubuh) maka tubuh seharusnya tidak merasakan apa-apa. Jika kamu berkeras bahwa baik tubuh maupun akal memiliki perasaan yang terpisah, maka akan ada dua persepsi (2 entitas yg memiliki persepsi) yang berbeda dan tubuhmu pun, satu hari nanti akan menjadi 2 Buddha, Jadi pemikiranmu bahwa gelap yang kamu lihat saat menutup mata adalah penglihatan ke dalam adalah sesuatu yang tidak berdasar.



Lanjut Bagian I.1 (part-3)

Bagian I.1 (part 1)

I. Menghapus/meniadakan 5 agregat dan 8 bentuk kesadaran untuk menunjukkan/membuka ketidak realitasan dari Ego/Aku.

*Menyelidiki "pikiran/akal budi semu", untuk meniadakan/menghapus dua agregat pertama dan lima bentuk kesadaran yang pertama (dari 8 jenis kesadaran). 

*Dalam bahasa Inggris-nya berjudul :"Probing into the false mind to wipe out the first two aggregates and first five consciousnesse"


Sang Buddha berkata pada Ananda: Kamu dan aku adalah kerabat dekat. Beritahukanlah kepadaku, apa yang kau lihat pada saat itu, ketika kau membulatkan tekad untuk meninggalkan semua keduniawian dan mengikut aku? 

Ananda menjawab : Aku melihat 32 karakter sempurna dari tubuh Sang Buddha yang berpendar seperti kristal yang berkilauan. Aku berpikir bahwa semua ini tidak mungkin dihasilkan dari keinginan dan nafsu, karena keinginan duniawi menghasilkan ketidak murnian dan kekotoran, seperti nanah dan darah yang tidak mungkin bisa menghasilkan tubuh yang bercahaya. Didasari oleh kekaguman itu, aku pun mencukur kepala dan mengikuti Buddha. 

Buddha berkata: Ananda dan sekalian kamu semua tentu tahu bahwa samatha adalah perenungan (meditasi) akan kehampaan dari segala sesuatu. Samapatti adalah perenungan akan semua yang tidak nyata, tidak kekal dan sementara. Sementara dhyana adalah perenungan untuk mencapai pemahaman yang menyatukan/melampaui kedua pemahaman tersebut.

Bahwa segala makhluk hidup, sejak dari awal mulanya, terjebak dalam siklus kelahiran dan kematian yang terus menerus, dikarenakan mereka tidak tahu/mengenal "Pikiran Sejati" yang kekal/permanen, yang menurut subtansinya/nature-nya/sifat alami-nya adalah murni dan terang.

Mereka terus bergantung pada pemikiran yang salah, yang bukan realita/kenyataan yang benar, sehingga dengannya roda samsara pun berputar.

Sekarang jika kau berkehendak untuk mempelajari Kebenaran dan memahami/menghayati sifat alami yang bercahaya/terang ini, jawablah pertanyaanku dengan terus terang.

Semua Buddha dari segala penjuru, mengikuti jalan yang sama untuk menghindari siklus hidup dan mati oleh karena lurus dan terbukanya pemikiran mereka, baik dalam perkataan maupun pemikiran mereka lurus dan tidak ada kebengkokan di dalamnya.

Ananda, ketika kau mulai megembangkan pemikiranmu karena melihat 32 karakter yang sempurna itu, katakan padaku apa yang kamu lihat dan kamu kagumi darinya. 

Ananda menjawab :’ Yang terhormat, kekagumanku datang dari penggunaan akal budi. Mataku melihat dan akalku mengaguminya, sehingga dia bertekad untuk melepaskan diri dari siklus lahir dan mati. 

Sang Buddha kembali bertanya: Seperti yang baru saja kamu katakan, kekaguman itu muncul dari akal dan mata, tetapi jika kamu tidak tahu di mana sesungguhnya akalmu berada dan di mana matamu berada, maka kamu tidak akan pernah berhasil menghancurkan khayalan/ilusi (yang memerangkapmu dan menemukan kebenaran).

Sebagai contoh, ketika sebuah negeri diserang oleh kumpulan bandit, sebelum sang raja mengirimkan tentaranya untuk menghancurkan mereka, terlebih dahulu dia harus tahu di mana mereka berada. Ilusi/khayal yang mengakibatkan kejatuhan dirimu, berasal dari cacad pada akal dan matamu. (*jadi untuk menghancurkan khayalan itu) Sekarang katakan padaku, di manakah akalmu dan dimanakah matamu berada.


Lanjut (part-2)

Pembuka

Bagian awal dari Surangama Sutra ini menjelaskan tentang situasi dan latar belakang dimulainya pengajaran/khotbah Sang Buddha Gautama yang tercatat pada Surangama Sutra ini.

Alkisah pada waktu itu, Sang Buddha Gautama dan sekian banyak pengikutnya sedang berkumpul di Wihara Jetavana. Sebagian besar dari mereka sudah mencapai Arhat dan juga mereka-mereka yang sudah memiliki pemahaman yang mendalam tentang ajaran Buddha. Dipimpin oleh Manjusri, tak terhitung banyaknya Boddhisatva juga ada di sana.


Kemudian datanglah Raja Prasenajit yang sedang memperingati almarhum ayahnya, mengundang Sang Buddha bersama dengan seluruh pengikutnya untuk datang ke istananya.

Sang Buddha pun kemudian memerintahkan Manjusri untuk memimpin pada Bodhisatwa dan Arhat untuk pergi ke istana. Akan tetapi pada saat itu Ananda tidak berada di sana.

Pada saat itu Ananda sedang dalam perjalanan kembali ke wihara. Meminta derma dari satu rumah ke rumah lain tanpa memilih-milih, dengan keinginan untuk membantu setiap orang untuk mengumpulkan karma yang baik.

Alkisah dalam perjalanannya itu Ananda akhirnya sampai ke satu pelacuran di mana seorang pelacur menggunakan sihir untuk memikat Ananda. Akibat godaan itu Ananda pun sampai pada titik hendak melanggar peraturan yang menjaga kesucian hidup. Akan tetapi hal ini tidak lepas dari kewaspadaan Sang Buddha. Dalam perjalanan pulang kembali dari istana, menuju ke wihara, diikuti oleh Raja Prasenajit, para pangeran dan para tetua yang ingin mendengarkan wejangan Sang Buddha, Sang Buddha pun mengirimkan cahaya, memberikan penglihatan pada Ananda dan mengucapkan mantra yang membebaskan Ananda dari pikatan ilmu penggoda itu.

Kemudian Sang Buddha mengirimkan Manjusri untuk menjemput Ananda dan pelacur itu datang ke wihara.

Sesampainya di wihara dan melihat Sang Buddha, Ananda pun segera bersujud di kaki Sang Buddha, menangis dan menyampaikan, bahwasannya  meskipun selama ini dia sudah mendengarkan wejangan-wejangan dari Sang Buddha, namun sampai sekarang dia belum mendapatkan pencerahan akan kebenaran.

Ananda pun memohon pada Sang Buddha, agar Sang Buddha berkenan untuk mengajarkan pengetahuan pengantar dalam praktek samatha, samapatti, dan dhyanna, yang nantinya akan memimpin pada pencerahan akan kebenaran.

Pada saat itu, berkumpul juga di situ sejumlah besar Boddhisatwa, Arhat dan para praktisi, ikut mendengarkan dengan hikmat, menantikan wejangan dan pengajaran dari Sang Buddha.




Lanjut Bagian I

Sekilas kata pengantar.

Sudah cukup lama saya tertarik untuk belajar lebih dalam tentang praktek agama Buddha. Beberapa hari yang lalu dari browsing-browsing di internet, saya menemukan terjemahan Bahasa Inggris dari Surangama Sutra.

Saya pun berusaha membaca dan memahami isinya, namun ternyata otak saya memang agak bebal sehingga sulit untuk memahami apa yang hendak disampaikan sutra ini, terlebih lagi tulisan ini dalam Bahasa Inggris. Jangankan kalau harus membaca dalam Bahasa Inggris, membaca versi Bahasa Indonesia-nya pun sepertinya masih sulit bagi saya untuk memahami.

Menemui masalah ini, saya jadi terpikir untuk berusaha menerjemahkan edisi Bahasa Inggris yang saya dapatkan ini ke dalam Bahasa Indonesia. Harapannya dalam proses menerjemahkan ini, saya pun bisa lebih mudah dan lebih mendalam dalam memahami isi dari Surangama Sutra ini.

Bila ada kesalahan-kesalahan, mohon dimaafkan dan sangat diharapkan kritik dan sarannya.


Salam




Selanjutnya, pembukaan Sutra Surangama.